Clip Stories - Anggie

    Hah, beberapa hari yang lalu aku mendapatkan pengalaman yang aneh. Yang mungkin hanya bisa dijelaskan dengan non-logika. Tapi bagaimanapun itu, aku hanya bisa bernapas lega. Hah.. Setidaknya ada tempat untukku tuk menenangkan diri.

    Yap, di sekolah ini, SMA Bhayangkara, tempat satu-satunya yang bisa menetralkan pikiranku. Bagaimana tidak, di tempat kerja part-time terdapat banyak kesibukan file-file pekerjaan menumpuk dari seluruh Kecamatan. Kemudian di rumah, rasanya rumahku yang awalnya sangat menyenangkan untuk ditinggali hingga membuat diriku menjadi seorang pengurung diri profesional kini telah berubah seperti medan pertempuran dengan kepulangan adik ku yang sangat berisik nan mengganggu. Belum lagi penderitaan yang telah kurasakan dari kedua tempat itu, ditambah lagi dengan pekerjaan rumahku yang selalu menumpuk. Mencuci, memasak, serta membersihkan seisi rumah itu biasanya akulah yang melakukannya. Adik ku hanya membantu menyiram tanaman yang ditanamnya dan juga tanaman hias yang selama ini salalu dirawatnya. Itu pun ia lakukan karena dia memiliki hobi berkebun.

    Ah lupakan saja, yang pasti aku akan menikmati saat-saat indah ini sendiri.



    ‘Haha.. my best place.’ Pikirku dengan wajah berbinar.

    TING! TONG!!

    Suara bel berbunyi, aku dengan malas langsung melirik jam dinding di dekat papan tulis hitam itu. ah, tak sadar ini sudah jam 8.30 pagi. Jam pelajaran sudah tiba, waktunya aku mempersiapkan catatan matematika ku.

    DEG!

    Aku tersadar. Sepertinya ada yang salah dengan buku catatanku!

    Dengan tangan gemetar, aku berusaha menarik nafas dalam-dalam. Duh, kenapa di saat seperti ini, aku...

    ‘...lupa tak mengerjakan PR matematika ku!’

    Pak guru pun datang dari pintu kelas bagian depan. Dengan sikap layaknya robot, aku menoleh ke arahnya dengan perasaan takut.

    “...Hehehe.”

    Eh? Kenapa pak guru terlihat begitu senang. Oh tidak, mungkinkah akan ada ulangan mendadak?! Sial, aku masih belum belajar.

     “Nah, semuanya...” seisi kelas pun terdiam.

    “Kita kedatangan seorang murid baru!”

    “Eh?” ternyata dugaanku salah.

    ‘Murid baru? Tumben sekali.’ Pikirku.

    Tak memedulikan sang pak guru. aku pun menyandarkan kepala pada tangan kananku. Hah, lupakan tentang PR matematika. Sekarang aku harus bisa merelakskan diriku pada saat-saat langka seperti ini, semoga pak guru masih melupakan hal yang ku takutkan barusan. Lalu aku merogoh tasku dan mengambil jus jeruk kemasan kecil yang sebelumnya ku persiapkan dari perjalananku ke sekolah barusan. Diam-diam aku meminumnya.

    Aku terus menyedot minuman kotak itu.

    ‘Ah, menyenangkan sekali!’

    Di sisi lain, pak guru mulai melanjutkan perkataannya.

    “Nah, Dik Anggie. Anda boleh masuk sekarang.” Perintah pak guru pada murid baru di depan pintu masuk, semuanya nampak penasaran.

    Tunggu...! Anggie?!

    Kemudian aku melirik ke arah pak guru sambil terus menyeruput jus jeruk ku.

  “Namaku Angelica Dwi Yunar. Biasa dipanggil Anggie juga boleh, Salam kenal semuanya!” sahut murid baru itu.

    BUUOOSSHHH!

    Seketika aku menyemburkan seluruh jus jeruk yang ku minum. Aku tak menyangka! Di-dia?! bukan hanya di tempat kerja, dia juga berniat mengikutiku hingga sampai kesini?! Yang benar saja!

    Aku langsung lemas ditempat.

    “Oh, rasanya ingin mati saja.” Gumamku.

    Ya Tuhan, ambil saja nyawaku sekarang. Aku tak sanggup lagi!”

***

    Tak terasa, bel istirahat pun berbunyi. Seisi kelas hanya mendesah bahagia (menurutku), karena pelajaran matematika yang kuanggap mengerikan itu telah selesai. Aku yang mengetahuinya pun mencoba merenggangkan otot-otot tangan dan kakiku. Uwah! Akhirnya selesai juga!

    “Hei, Anggie, kau pindahan dari SMA mana?”

    “Kalau kau masih kebingungan dengan sekolah ini, aku akan membantumu.”

    “Apakah ada orang yang kau sukai disini?”

    Hm, hampir semua anak perempuan dikelas ini saling mengerubungi Anggie, wajar saja, dia kan masih baru disini. Mungkin saja dia dapat menemukan teman baru disini.

    Aku mengambil kotak bekal milikku dari dalam tas, lalu membawanya keluar kelas.

    ‘Hah, sebaiknya aku makan siang di mushola saja. Aku tak suka keramaian seperti ini.’ Pikirku sesekali melirik kearah seisi kelas.

    Aku mendesah, serta kembali menghela nafas.

    “Bel masuk akan berbunyi sepuluh menit lagi. Aku harus bergegas sebelum istirahat siang ini berakhir.” Gumamku sambil melirik ke arah jam dinding.

***

    Ada yang aneh, tak biasanya aku merasa sebebas ini. Padahal kukira dengan adanya Anggie disini pasti akan terjadi kekacauan antara aku dengannya. Namun sepertinya tebakanku salah, dia sama sekali tak mengungkit-ungkit tentangku di kelas. Bahkan selama disekolah dia sama sekali tak berbicara denganku, meskipun hanya sekedar menyapaku, dia tak melakukannya. Menganggap di kelas ini aku sama sekali tak ada.

    Ngomong-ngomong yang kutahu, Anggie itu adalah seseorang yang pandai memanipulasi emosinya dan pandai mengadaptasikan emosinya dengan lingkungan yang dihadapinya. Jika di tempat itu suasananya sedang serius, perilakunya akan mendingin. Namun jika di tempat seperti ini, di sekolah, dia akan akan menjadi sosok yang sangat hangat dan bersahabat.

    Memang cocok sekali dengan pekerjaannya sebagai pelayan café professional di tempat kerja kami.

    Namun, aku mulai berpikir kembali. Lantas kemampuan apa yang kumiliki sebagai pegawai café di tempat kerja di tempat kerja ku dengan Anggie? Padahal yang kutahu dari Anggie, Bos tak akan salah merekrut anggota pegawainya. Dan rata-rata mereka yang diterima oleh Bos adalah para pegawai yang memiliki kemampuan fisik maupun sosialisasi di atas rata-rata. Bukannya sekarang aku bangga karena diterima bekerja oleh Bos, tapi aku jadi sedikit ragu. Apakah Bos tak salah dalam memilihku sebagai pegawainya?

***

    Rencananya aku akan bertanya langsung pada Anggie. Kenapa disekolah ia mencampakkan diriku? Meskipun ini adalah pertanyaan yang simpel dan terlihat menjijikkan bagai seseorang tengah menginterogasi penguntitnya sendiri, tapi aku akan mencoba berusaha untuk bisa menahan muka dalam masalah yang satu ini.

    “Tenang saja, ini hanya kedok agar tak ada siapapun mengetahui jika kita saling mengenal sebelumnya.”

    Akhirnya aku bisa berbicara dengannya juga. Aku bisa bernapas lega. Ngomong-ngomong tadi aku berkata akan berusaha menahan muka, kan? itulah yang kucoba barusan. Saat itu Anggie berada di depanku bersama teman-teman barunya, dan sekilas dalam kepalaku pun terpikirkan hal yang seperti itu.

    ‘Ah, aku punya ide bagus!’ pikirku dengan wajah sumingrah.

    Lalu kemudian aku berlari seraya menarik tangan Anggie saat ia tengah asyik berbicara dengan teman-teman barunya itu. Dan, yah, kau tahu kan... ujung-ujungnya aku terkena pukulan spesial yang mengenai perutku.

    O-oh, te-ternyata menahan mu-muka itu menya-nyakitkan!

    Aku hanya bisa merintih.

    “Tapi di sekolah ini tak ada hubungannya dengan perintah Bos, kan?” aku melanjutkan percakapanku dengannya yang sempat tertunda.

    Anggie yang mendengar apa yang dikatakan aku pun langsung menggeleng kepala.

    “Tidak, ini ada hubungannya.” Kata Anggie dengan tatapan serius.

    “Ma-maksudmu?”

    “Benar, ada seseorang yang menarik untuk direkrut Bos kita.”

    Seketika aku menolehkan kepala padanya.

    Hei, kau bercanda kan?

    “Bercanda, katamu?”

    “...memangnya apa gunanya aku membohongimu saat ini?!” lanjutnya.

    Aku pun seketika kaget mendengarnya, ma-mana mungkin! Aku tak menyangka, di sekolah ini?

    Aku pun menatapnya dengan pandangan serius.

    “Jadi siapa dia? Namanya?”

    “Dia adalah siswi di sekolah ini. Berbicara tentang namanya, aku tak tahu...”

    “Lantas kenapa?!” potongku.

    “Tapi kalau tidak salah, dia adalah seorang siswi yang tadi pagi, dia berpapasan dengan kita saat tangan ku sedang kau tarik.” Lanjutnya.

***

Bersambung... 

Komentar